Di ranah kecil dalam duniaku, kedewasaan bukan hadir karena kebetulan, pun bukan karena kesengajaan. Ia tumbuh perlahan—di sela-sela rutinitas yang bisa kuromantisasi dalam kesendirian. Kedengarannya berlebihan, bukan? Tapi sungguh, aku tidak pernah benar-benar merasa bosan menjalani keseharian.
Mungkin aku termasuk golongan yang disebut multipotensial, meski jika disuruh memilih satu hal yang ingin kuteriakkan dengan lantang pada dunia, jawabanku tetap: aku mencintai membaca dan menulis.
Tinggal di lingkungan yang bukan sepenuhnya kota, pun bukan betul-betul desa, membuatku enggan meninggalkan gerbang rumah. Mungkin satu-satunya alasan yang cukup kuat untuk membuat kakiku menapak ke luar hanyalah bekerja.
Sesekali ada orang yang dengan setengah bercanda berkata, “Kamu harus dipaksa keluar rumah, agar kulitmu tak pucat seperti lupa caranya menyapa matahari.”
Barangkali benar.
Aku senang melakukan banyak hal, tapi itu bukan berarti aku piawai dalam segalanya. Justru dari mencoba satu per satu, aku belajar. Aku memberi asupan jiwaku. Sebab bukankah kita semua sedang mencari cara paling sederhana untuk bahagia?
Namun, tak kupungkiri—terkadang terlalu banyak distraksi justru membuat fokusku tergerus. Aku mudah bosan. Terlalu cepat jenuh bila harus melakukan hal yang sama terus-menerus.
Apa kamu berpikiran sama denganku?
Banyak yang menyangka hidupku membosankan. Sepi. Terlalu tenang. “Kenapa tidak bersosialisasi saja?” katanya. Tapi aku bukan tipe yang menghindari dunia luar. Hanya saja, aku punya cara sendiri untuk merasa hidup.
Aku memang mencintai waktu-waktu menyendiri, namun aku juga menikmati perbincangan hangat bersama orang-orang yang sefrekuensi.
Kata mereka, aku terdengar begitu fasih mengolah kata. Tapi di balik itu, aku adalah seseorang yang lebih aktif saat bersosialisasi dibanding yang tampak. Mungkin aku tidak pandai mencairkan suasana, tapi jika kamu mengerti caraku berpikir, jangan heran jika suatu hari kamu menyebutku—aneh, atau gila dengan cara yang menyenangkan.
Mereka menyebutku idiot gila.
Adapun terbesit pemikiran tentang rasa penasaranku kepada orang-orang sekitar. Mereka melakukan apa ya di jam segini?
Betapa hangatnya membayangkan—berbincang ringan, tanpa membahas perihal hidup yang berat. Cukup tentang rasa manis roti panggang yang baru keluar dari oven, atau aroma seduhan kopi dari cangkir tua kesayangan sembari menikmati mentari menua.
Tapi tunggu… distraksiku kembali mengintrupsi sekarang.
Tiba-tiba aku ingin memelihara seekor ikan. Entah mengapa, dalam benakku sekarang terbayang, sebuah aquarium mungil sebesar vas bunga, diletakkan di atas meja riasku. Seekor ikan yang berekor putih panjang berenang, sementara aku mengamatinya sambil menanurkan sejumput pakan. Lalu, tentu saja—kamera ponselku akan merekamnya… hingga muncul notifikasi peringatan memori penuh.
Ah, betapa tenangnya bayangan itu.
Kau tahu? Kamu berhak melakukan apa pun yang membuatmu nyaman, selama tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Tak perlu meniru. Tak perlu mengurusi suara sumbang dari luar.
Jangan pernah berpikir bahwa menjadi dewasa itu membosankan. Terlalu banyak tekanan? Tuntutan? Sering kali, itu hanya karena kita terlalu sibuk meramal hari esok yang belum tentu terjadi.
Kemarin sudah berlalu, hari ini sedang kita tapaki, dan esok hari tetap menjadi rahasia.
Kalau kita sudah sepakat, aku mau berbagi kita kisah bersama. Rasanya akan menyenangkan.
Memberi penghargaan pada diri sendiri itu perlu—bahkan seharusnya. Bayangkan, bagaimana otak kita terus bekerja, bagaimana tubuh kita menopang segalanya, bagaimana hati kita menahan banyak hal yang tak terucap. Semuanya layak diapresiasi.
Sekarang pertanyaannya, penghargaan seperti apa?
Kalau aku pribadi memilih belanja. Kesenangan kecil yang umum, mungkin. Tapi siapa yang bisa membantah rasa bahagia saat membeli sesuatu yang telah lama kita inginkan? Mustahil untuk membencinya.
Ini bukan soal konsumtif, tapi bentuk cinta pada diri sendiri—walau kadang tak sejalan dengan isi dompet yang menipis.
Sepertinya aku harus menebalkan isi dompetku.
Lebih pada itu, tetap saja aku kembali ke tempat ternyamanku—mengolah kata untuk membangun sebuah negeri cerita yang penuh dengan imajiku. Betapa menyenangkannya membiarkan sel-sel otakku menciptakan karakter yang aku mau. Dan kupikir… aku cukup pandai dalam hal ini.
Selain itu, segala macam bentuk kegiatan kecil akan selalu menjadi primadona dalam mengisi celah waktu yang kosong.
Terutama menonton film-film romantis yang mampu membawaku hanyut dalam emosi para tokohnya—merasakan jatuh cinta, kehilangan, rindu yang menggantung, bahkan luka yang tak sempat disembuhkan. Lalu detik berikutnya tertawa hingga perutku yang kecil ini kembang-kempis.
Aku menikmati semua itu. Tak sekadar sebagai hiburan, tapi sebagai cara lain untuk menyelami diri.
Lalu, ada satu kegiatan lagi yang selalu berhasil membuatku kembali utuh—menata dan mengorganisir ruang mungilku. Petak kecil itu adalah tempatku melepas penat, bernafas panjang, dan merapikan kekacauan di luar kendali.
Di situlah aku merasa aman, merasa cukup. Ruang yang sekaligus menjadi charging dock untuk energi jiwa yang kadang redup—dan pelan-pelan ingin dinyalakan lagi.
0 Comments:
Posting Komentar